Candi Borobudur. Siapa yang tak kenal dengan Candi Borrobudur? Candi ini tidak hanya dikenal dan dikunjungi oleh para penghuni bumi tanah air kita Indonesia, namun banyak sekali turis dari luar Indonesia yang khusus menyempatkan diri dan waktunya untuk berpetualang ke tempat ini. Kenapa bisa banyak sekali turis yang datang berkunjung menikmati salah satu warisan budaya ini? Karena Candi Borobudur ini sangat menarik. Pesona Candi Borobudur hanyalah satu-satunya yang sangat indah dan tentunya tidak bisa dibandingkan dengan candi lainnya. Pesona tersebut ada pada kemegahan arsitektur maupun ukurannya. Saya akan sedikit mengulas sejarah terbentuknya Candi Borobudur.
CANDI BOROBUDUR
Sejarah Terbentuknya Candi Borobudur
Candi Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Candi Borobudur - Bukit Menoreh
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Mengilhami Ribuan Panel Relief Dinding Candi Borobudur
Candi Borobudur - Pesona Indonesia
Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya agung! Inilah monumen Buddha terbesar di dunia yang telah diakui UNESCO. Ia merupakan puzzle atau lego dari sekira 2 juta balok batu vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian rupa sehingga dapat saling mengunci (interlock) meski tanpa menggunakan semen atau perekat apa pun.
Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Borobudur yang dibangun memakan waktu sekira 75 tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan puzzle batu raksasa, meski teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah hal yang luar biasa. Borobudur juga menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan agama. Kesepuluh pelataran Borobudur diyakini sebagai representasi filsafat mazhab Mahayana, yaitu menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Borobudur sudah serupa kitab Buddha yang dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang mumpuni serta dilengkapi dengan arca dan stupa yang tak kalah mengagumkan. Candi Borobudur memiliki sekira 2672 panel relief yang konon apabila dibentangkan akan mencapai panjang 6 kilometer. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia. Setiap adegan dan kisah yang terpahat adalah sebuah mahakarya seni yang utuh dan luar biasa tinggi nilainya.
Ada teknik tersendiri untuk membaca relief pada dinding-dinding candi, yaitu dibaca ke arah sesuai arah jarum jam. Hal ini dikenal dengan istilah mapradaksina (bahasa Jawa Kuna) yang berasal dari bahasa Sansekerta Daksina yang berarti timur. Awal cerita akan dimulai dan berkahir di pintu gerbang sisi Timur di setiap tingkatnya. Borobudur memiliki tangga naik di empat penjuru mata angin tapi diperkirakan tangga naik utama adalah di sebelah Timur.
Relief Candi Borobudur
Relief pada Borobudur terpahat di beberapa tingkatan Borobudur. Relief-relief tersebut menggambarkan adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari.
Relief Karmawibhangga
Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma). Di zona Kamadhatu, beberapa relief-relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat, Relief Karmawibhanga yang dipahat di atas 160 panil juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik.
Setiap panil bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna, dan sebagainya. Secara keseluruhan itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir - hidup - mati (samsara).
Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, atau dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona ini berada di tingkat paling bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan sehingga tidak terlihat (kecuali pada sisi Selatan terbuka sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini dikarenakan untuk memperkuat struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain menyebutkan bahwa hal tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief tersebut. Untuk melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum Karmawibhangga yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap dapat dinikmati pengunjung.
Lalitawistara adalah relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita hingga kisah ajaran pertama yang beliau lakukan di Taman Rusa yang berada di dekat Kota Banaras. Relief Lalitawistara berjumlah 120 panil namun tidak secara lengkap menggambarkan kisah sang Buddha.
Lalitawistara adalah rangkaian relief cerita yang terpahat apik pada dinding candi di lorong 1 tingkat 2. Secara garis besar, Lalitawistara menggambarkan kehidupan Buddha Gautama saat lahir hingga keluar dari istana dan mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi.
Jataka dan Awadana adalah relief tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Terpahat di tingkat kedua candi (lorong 1), relief ini bercerita tentang kebaikan sang Buddha dan pengorbanan diri yang ia lakukan dalam berbagai bentuk reinkarnasinya, baik sebagai manusia atau binatang. Perbuatan baik inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Apalagi berbuat baik adalah tahapan persiapan dalam usaha menuju tingkat Buddha yang lebih tinggi.
Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana).
Gandawyuha adalah deretan relief yang terpahat rapi di dinding Borobudur sejumlah 460 panil yang terpahat di dinding serta pagar langkan. Pahatan relief ini tersebar di tingkatan candi yang berbeda-beda.
Berkisah tentang Sudhana, putera seorang saudagar kaya yang berkelana dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi atau kebenaran sejati. Penggambarannya pada panil-panil didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha. Sementara itu, untuk bagian penutupnya, kisah relief berdasarkan cerita kitab lain, yaitu Bhadracari. Kisah ini adalah tentang sumpah Sudhana untuk menjadikan Bodhisattwa Samantabhadra sebagai panutan hidupnya.
Apabila Anda perhatikan mulai dari lantai kelima hingga ketujuh tidak tampak relief pada dindingnya. Tingkatan yang melambangkan alam atas tersebut dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Pada tingkatan ini, manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana. Pada Arupadhatu yang terlihat adalah stupa-stupa terawang yang di dalamnya terdapat patung Buddha. Di tingkatan tertinggi dari Candi Borobudur yang memiliki total 10 tingkatan atau pelataran ini terdapat sebuah stupa yang terbesar dan tertinggi. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Unfinished Buddha yang kini di simpan di Museum Karmawibhangga.
Berdenah bujur sangkar dengan keseluruhan ukuran 123 x 123 meter, Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Borobudur memiliki lorong-lorong panjang berupa jalan sempit, diperkirakan sebagai tempat bagi umat Buddha melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur memiliki enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah pelataran puncak tempat stupa utama berada. Struktur dasarnya berupa punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Karena keunikan, keindahan, nilai historis, dan kualitas karya seni yang bernilai tinggi yang termanifestasikan di Borobudur, candi Buddha ini sudah tentu layak menyandang gelar sebagai salah satu mahakarya seni tingkat tinggi dari peradaban Nusantara.
Sumber : id.wikipedia.org